Pawitikra CATHOLIC Students

WELCOME & GOD BLESS YOU ALWAYS

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Rabu, 26 Januari 2022

Pesan Mentes INGATLAH


Akan tiba saatnya nanti, semua temanmu akan melihat namamu offline.

Mereka mengirim pesan lewat WhatsApp, tapi kamu tak menjawabnya.
Mereka chat di Messenger, tapi kamupun tak mampu membalasnya.

Pada hari itu, postinganmu tiba-tiba saja terhenti, tidak lagi update.

Kenapa ?

Karena saat itu kamu telah pergi meninggalkan dunia ini.

Ya, Kamu tidak akan pernah online lagi, tidak mampu reply chat, ataupun berkomentar pada postingan teman temanmu

Kamu tak lagi bisa mengedit statusmu atau postinganmu, atau sekedar meminta maaf kepada orang yang pernah kamu sakiti karena omonganmu.
Semua sudah terlambat....

Ya, kamu sudah tak lagi bersama mereka.

Pada hari itu, kamu sedang terbujur sendirian di lubang kubur sempit dan terhimpit, sendirian menghadapi ujian.

Dan ketika kamu telah pergi, yang tertinggal hanyalah huruf - huruf di postinganmu.
Semua itu akan menjadi pembelamu atau mungkin malah akan membinasakanmu di alam sana.

Maka dengan itu, tulislah yang baik-baik saja saja, walaupun kita belum baik.
Sekurang-kurangnya kita terselamatkan dari dosa menulis yang buruk.

Tulislah yang baik-baik saja, bukan karena kita orang baik.
Tapi kita berusaha untuk menjadi baik.

Tulislah yang baik-baik saja, karena kita tahu itu perkara baik.
Dan apabila kita berikan yang baik, maka mudah mudahan perkara yang baik itu kembali
kepada kita.

Tulislah yang baik-baik saja, karena kita mau yang baik-baik itu yang tertinggal, apabila kita sudah pergi.

Bicaralah yang baik baik saja,
Tulislah yang baik-baik saja.

Karena yang baik itu semuanya bernilai ibadah.
Walaupun hanya sekadar Copas, senyum ataupun bersangka baik.

Berusahalah menjadi orang yg bermanfaat bagi orang lain, meski cuma sebatas tulisan sederhanamu.

Jangan menjadi penyebab orang lain bertambah lebih buruk, karena ketikan jari jemarimu.

Selasa, 25 Januari 2022

Kalit Rabu Biasa 3

Nikmatilah dan resapilah Sapaan Tuhan hari ini!

Adakah Ia bicara kepadamu?

Bagaimana kita menanggapinya?

Rahmat yang kamu peroleh apa?







Salinkanlah SabdaNYA yang bicara kepadamu! Pada komentar dibawah ya


GEREJA KATOLIK yang APOSTOLIK

“Apostolik” atau rasuli berarti bahwa Gereja berasal dari para rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka itu. Kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru”, sudah ada sejak zaman Gereja perdana sendiri (bdk Ef 2:20, Bdk Why 21:14), tetapi sebagai sifat khusus keapostolikan baru disebut akhir abad ke-4. Dalam perjanjian Baru kata “rasul” tidak hanya dipakai untuk kedua belas rasul yang namanya disebut dalam Injil (lih Mat 10:1-4).


Hubungan historis itu tidak boleh dilihat sebagai macam “estafet”, yang didalamnya ajaran benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada para uskup sekarang. Yang disebut “Apostolik” bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Sifat apostolik berarti bahwa Gereja sekarang mengaku diri sama dengan gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai kelangsungan iman dan pengakuan.

Sifat apostolik tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulangi apa yang sejak dulu kala sudah diajarkan dan dilakukan di dalam gereja, keapostolikan berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak Roh Kudus, Gereja senantiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Bukan mengulangi, tetapi merumuskan dan mengungkapkan kembali apa yang menjadi inti hidup iman. Seluruh Gereja bersifat apostolik, maka seluruh Gereja dan setiap anggotanya, perlu mengetahui apa yang menjadi dasar hidupnya.

Sifat Apostolik (yang betul-betul dihayati secara nyata) harus mencegah Gereja dari segala rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Keapostolikan berarti bahwa seluruh Gereja dan setiap anggotanya tidak hanya bertanggungjawab atas ajaran gereja, tetapi juga atas pelayanannya. Sifat keapostolikan Gereja tidak pernah “selesai”, tetapi selalu merupakan tuntutan dan tantangan. Gereja, yang oleh Kristus dikehendaki satu, kudus, Katolik, apostolik, senantiasa harus mengembangkan dan menemukan kembali kesatuan, kekatolikan, keapostolikan, dan terutama kekudusannya. Sifat-sifat Gereja diimani, berarti harus dihayati, oleh Gereja seluruhnya dan oleh masing-masing anggotanya.

GEREJA YANG KATOLIK

Di mana ada uskup, disitu ada jemaat, seperti di mana ada Kristus disitu ada Gereja Katolik (ungkapan St. Ignatius dari Anthiokia). Yang dimaksud ialah dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukanlah jemaat setempat tetapi seluruh Gereja. “Gereja katolik yang satu dan tunggal berada dalam gereja-gereja setempat dan terhimpun daripadanya (LG 23)”.


Gereja selalu “lengkap”, penuh. Tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat, baik keuskupan maupun paroki bukanlah “cabang” Gereja Universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja. Gereja tidak dapat dipotong-potong menjadi “Gereja-Gereja bagian”.

Kata “Katolik” selanjutnya juga dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Dengan demikian kata “katolik” mendapat arti yang lain: “gereja disebut Katolik, karena tersebar diseluruh muka bumi dan juga karena mengajarkan secara menyeluruh dan lengkap segala ajaran iman tertuju kepada sesama manusia, yang mau disembuhkan secara menyeluruh pula” (St. Sirilus dari Yerusalem).

Sejak itu kata “Katolik” tidak hanya mempunyai arti geografis, tersebar keseluruh dunia, tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap”, berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja. Pada abad ke-5 masih ditambahkan bahwa Gereja tidak hanya untuk segala bangsa, tetapi juga untuk segala Zaman.

Pada zaman reformasi kata “Katolik” muncul lagi untuk menunjuk pada Gereja yang tersebar di mana-mana, dibedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu pula kata “Katolik” secara khusus dimaksudkan umat kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja Universal, tetapi dalam syahadat kata “Katolik” masih mempunyai arti asli “universal” atau “umum”. Ternyata universal pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif.

Dalam Konsili Vatikan II tidak lagi memusatkan Gereja sebagai kelompok manusia yang terbatas, melainkan kepada Gereja sebagai sakramen Roh Kristus. “Kekatolikan” Gereja berarti bahwa pengaruh dan daya pengudus Roh tidak terbatas pada para anggota Gereja saja, melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Dengan sifat “katolik”, diharapkan Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri karena Roh yang berkarya di dalamnya. Oleh karena itu yang “katolik” bukanlah hanya Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya, sebab di dalam jemaat hadirlah seluruh Gereja.

Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja (Lih. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17). Gereja-Gereja itu ditempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih 1Tes 1:5). Dalam jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik (Lih. St. Agustinus, melawan Faustus, 12, 20: PL 42, 265; Khotbah 57,7: PL 38, 389) (LG 26).

GEREJA KATOLIK YANG KUDUS

Kekudusan Gereja dibicarakan dalam Konsili Vatikan II, konstitusi Lumen Gentium pada bab V. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, mealinkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikutsertakan Gereja dalam gerakan-Nya kepada Bapa oleh Roh Kudus.


Pada taraf misteri ilahi Gereja sudah suci : “Di dunia ini gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun tidak sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya. Dalam hal kesucian pun yang pokok bukanlah bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya.


“Suci” sebetulnya berarti yang dikhususkan bagi Tuhan. Jadi yang pertama-tama menyangkut seluruh bidang sakral atau keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikhususkan bagi Tuhan, atau orang. Malah sebenarnya harus dikatakan bahwa “yang kudus” adalah Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang, disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan.


Kudus pertama-tama bukanlah termasuk kategori moral yang menyangkut kelakukan manusia, melainkan kategori teologis (ilahi), yang menentukan hubungan dengan Allah. Ini bukan berarti kelakuan moral tidak penting karena yang dikhususkan bagi Tuhan, harus “sempurna” (Im 1:3, Rm 6:19, 22).


“Gereja itu suci dan sekaligus harus dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan “(LG 8). Kesucian Gereja adalah kesucian perjuangan, terus menerus.

GEREJA YANG SATU

“Allah telah berkenan menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah (lih 1Ptr 2:5-10)”, dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (lih. 1Kor 12:12) dan (AA 18). “Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2).

Landasan Hukum Gereja yang Satu dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik dibawah ini :

“Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik” (LG 8). 

Keempat sifat ini, yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus, katolik, dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu. (KGK 811)

Hanya iman dapat mengakui bahwa Gereja menerima sifat-sifat ini dari asal ilahinya. Namun akibat-akibatnya dalam sejarah merupakan tanda yang juga jelas mengesankan akal budi manusia. Seperti yang dikatakan Konsili Vatikan I, Gereja “oleh penyebarluasannya yang mengagumkan, oleh kekudusannya yang luar biasa, dan oleh kesuburannya yang tidak habis-habisnya dalam segala sesuatu yang baik, oleh kesatuan katoliknya dan oleh kestabilannya yang tak terkalahkan, adalah alasan yang kuat dan berkelanjutan sehingga pantas dipercaya dan satu kesaksian yang tidak dapat dibantah mengenai perutusan ilahinya” (DS 3013). (KGK 812)

Gereja itu satu menurut asalnya. “Pola dan prinsip terluhur misteri itu ialah kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putra, dan Roh Kudus” (UR 2 §5). Gereja itu satu menurut Pendiri-Nya. “Sebab Putra sendiri yang menjelma … telah mendamaikan semua orang dengan Allah, dan mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu tubuh” (GS 78,3). Gereja itu satu menurut jiwanya. “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja” (UR 2 §2). Dengan demikian, kesatuan termasuk dalam hakikat Gereja: “Sungguh keajaiban yang penuh rahasia! Satu adalah Bapa segala sesuatu, juga satu adalah Logos segala sesuatu, dan Roh Kudus adalah satu dan sama di mana-mana, dan juga ada hanya satu Bunda Perawan; aku mencintainya, dan menamakan dia Gereja” (St. Klemens dari Aleksandria, Pæd. 1,6,42:PG 8,300). (KGK 813)

Namun sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Di satu pihak kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan anugerah-anugerah Allah, di lain pihak oleh keanekaan orang yang menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah berhimpunlah perbedaan bangsa dan budaya. Di antara anggota-anggota Gereja ada keanekaragaman anugerah, tugas, syarat-syarat hidup dan cara hidup; “maka dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-gereja khusus, yang memiliki tradisi mereka sendiri” (LG 13). Kekayaan yang luar biasa akan perbedaan tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, tetapi dosa dan akibat akibatnya membebani dan mengancam anugerah kesatuan ini secara terus-menerus. Oleh karena itu, Santo Paulus harus menyampaikan nasihatnya, “supaya memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef 4:3). (KGK 814)


Manakah ikatan-ikatan kesatuan? Terutama cinta, “ikatan kesempurnaan” (Kol 3:14). Tetapi kesatuan Gereja peziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini:

  • pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul;
  • perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-sakramen;
  • suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah. (KGK 815)


“Itulah satu-satunya Gereja Kristus … Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing … Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit in] Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya” (LG 8). 


Dekrit Konsili Vatikan II mengenai ekumene menyatakan: “Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petrus-lah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk Umat Allah” (UR 3). (KGK 816)

Senin, 24 Januari 2022

KELAS SURAT KATOLIK - PETRUS

PETRUS I


Kita hampir tidak rahu sama sekali tentang hidup rasul Petrus dari Konsili Yerusalem, dalam tahun 49 (lihat Kis 15), sampai waktu ia menulis surat ini sekitar tahun 64, Pasti bahwa ia pergi ke Roma. Karena bertanggung jawab atas seluruh Gereja, ia, seperti Paulus, harus berangkat ke pusat dunia Romawi, meskipun motif-motif mereka berbeda.


Sebuah tradisi yang sangat tua menegaskan bahwa ia dibunuh dalam pengejaran Nero dalam tahun 66 dan bahwa ia dikuburkan di Bukit Vatikan. Penelitian dalam beberapa tahun belakangan ini menemukan sebuah kuburan dan tulang-tulang dengan berbagai macam tulisan (inskripsi), yang hampir dapat dipastikan merupakan kubur dan tulang sang Batu Karang Gereja.

Dengan demikian dalam kurun waktu yang singkat sebelum kematiannya ia menulis surat ini dari Roma. Petrus tidak memiliki kecerdasan'dan bakat sastra seperti Paulus. Sebaliknya dengan kata-kata sederhana, ia berwarta kepada orang-orang Kristiani dari provinsi Asia, di mana pengejaran-perigejaran pertama sudali mulai dilakukan. Berbeda dari Paulus, ia tidak peduli dengan klarifikasi atau definisi iman. .Ia berusaha membangkitkan keberanian kaum beriman yang menderita dengan menghadirkan contoh Kristus kepada mereka dan dengan menjelaskan konsekuensi-konsekuensi pembaptisan.

Dalam surat ini, segala sesuatu dari 1:3 sampai 3:7 diinspirasi oleh upacara pembaptisan di dalam gereja awal: himne-himne dan homili (renungan) tentang ritus dan kehidupan Kristiani. Bagi Petrus itu merupakan.sebuah cara paling jitu untuk mengingatkan pembaca-pembacanya tentang kondisi kehidupan Kristiani mereka.

Akhir surat ini mengajarkan kita bahwa Petrus menulis lewat tangan Silvanus yang adalah murid Paulus. Inilah sebabnya mengapa dalam beberapa perikop, kita dapati topik-topik yang sama seperti yang terdapat dalam surat-surat Paulus.




PETRUS II


Kitab ini merupakan yang terakhir dari seluruh Alkitab, yang mungkin ditulis sekitar tahun 100, disajikan sebagai surat kedua Petrus. Tiga bab surat ini berkaitan dengan tiga persoalan pokok pada zaman itu:
- memelihara iman sebagaimana diajarkan oleh saksi-saksi Yesus
- berjuang melawan "guru-guru" yang mengacaukan iman, dan yang mengajarkan kemesuman.
- menjelaskan mengapa Kristus belum juga kembali.

(dari berbagai sumber)