Indonesia yang memiliki keragaman sangat rawan akan konflik yang berujung pada pertikaian dan perang.
1. Beberapa Fakta Pertikaian di Masyarakat
Ada banyak pertikaian bahkan perang yang pernah terjadi di negeri ini pasca berakhirnya rezim Orde Baru.
(a) Fakta-fakta Pertikaian dan Perang
* Awal tahun 2010 terjadi pertikaian yang bernuansa balas dendam antara dua kampung di Timika, Papua
* Tahun 2009 terjadi pertikaian bernuansa politik antara oknum polisi dan kejaksaan melawan petinggi KPU
* Pertengahan tahun 2010 ada pertikaian di Tanjung Priok antara warga dengan Satpol PP dan Polisi
* Tahun 1999 ada dua pertikaian di Pontianak (antara suku Dayak dan Melayu melawan orang Madura) dan di Ambon (antara orang Kristen dan orang islam)
(b) Alasan Terjadinya Pertikaian dan Perang
* Fanatisme sempit. Sikap fanatik adalah baik dan bagus. Menjadi buruk ketika sikap itu tidak disertai dengan keterbukaan terhadap sesuatu yang ada di luar keyakinannya dan menganggap keyakinan orang lain salah atau lebih rendah.
* Sikap Arogan. Merasa kelompoknya (suku atau agama) lebih dari segala-galanya
* Keserakahan. Sikap serakah sering berbenturan dengan kepentingan orang lain sehingga menimbulkan konflik.
* Merebut kemerdekaan dan mempertahankan hak. Terkadang perang terpaksa dilakukan untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankan hak.
(c) Akibat Pertikaian dan Perang
* Kehancuran fisik dan jasmani. Dalam perang pasti ada yang mati, dan banyak sarana dan prasarana hancur.
* Kehancuran rohani. Perang menyisakan trauma, martabat dan peradaban manusia.
2. Pengertian Persaudaraan Sejati Persaudaraan sejati tampak dalam relasi manusia yang didasarkan pada sikap menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia. Kata “saudara” tidak hanya dibatasi pada ikatan genealogis saja atau kesamaan suku atau agama saja. Saudara di sini ditujukan karena kemanusiaannya. Kitab Suci memberi contoh pada sosok orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25 – 37).
Dari kisah orang Samaria ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa saudara sejati adalah orang yang menunjukkan belas kasih kepada sesama. Persaudaraan sejati berarti sikap dan/atau tindakan seseorang kepada sesamanya dengan dilandasi cinta kasih.
Injil Matius juga memberikan gambaran tentang siapa itu saudara. Dalam Matius 25: 35 – 46 terlihat ada wajah Kristus dalam diri sesama kita. Ini berarti jika seseorang tidak menganggap orang lain sebagai saudara, ia juga tidak menganggap Yesus sebagai saudaranya.
St. Fransiskus Asisi lebih ekstrim dalam menghayati arti persaudaraan ini. Ia tidak hanya melihat sesama manusia saja, tetapi juga semua makhluk Tuhan. Sikap ini mau mengajari kita untuk menghargai alam ciptaan.
3. Teladan Yesus dalam Membangun Persaudaraan Sejati
Yesus datang ke dunia hendak membawa damai. Namun damai itu bukan semacam ketenangan murahan, damai politis atau tak ada perang pertikaian atau kekacauan. Damai yang diajarkan Yesus membersihkan dunia dari segala macam kejahatan dan kedurhakaan. Damai berarti suatu rasa ketenangan hati karena orang memiliki hubungan yang bersih dengan Tuhan, sesama dan dunia.
Yesus memperingatkan bahwa damai-Nya tidak meniadakan derita. Damai harus diuji dengan derita. Sekalipun dunia penuh dengan derita, bahkan melanda diri-Nya, Yesus penuh dengan damai. Dengan konsep ini, maka kejahatan dibalas dengan kebaikan.
Perdamaian dan persaudaraan bukan hanya diajarkan lewat kata-kata saja, tetapi juga dengan keteladanan hidup. Salah satu teladan Yesus tampak dalam perjumpaan-Nya dengan wanita Samaria (Yoh. 4: 1 – 42). Dari teks ini dapat dikatakan bahwa sekalipun orang lain telah dianggap musuh, namun bila didekati dengan kasih dan persaudaraan sejati, orang lain juga akan menerima dengan penuh persaudaraan dan kasih.
Melalui kisah tersebut kita disadarkan akan nasehat Yesus, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai pun berbuat demikian?” (Mat 5: 46). Yesus mengajarkan suatu ajaran yang revolusioner.
4. Hambatan dalam Membangun Persaudaraan Sejati
Di Indonesia konflik bernuansa suku dan agama sering terjadi. Umumnya konflik ini berawal dari masalah sepele dan skala kecil. Namun menjadi besar karena ada aktor intelektual yang memang sengaja menciptakannya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun dialog, kerja sama dan toleransi. Dalam kehidupan beragama, toleransi masih sebatas tuntutan agar minoritas tidak menggangu atau menghormati mayoritas.
Ada beberapa hambatan untuk membangun persaudaraan sejati:
(a) Adanya fanatisme sempit dan sovinisme pemeluk agama yang kurang setia terhadap tokoh historis yang diikutinya sehingga beranggapan bahwa tokoh yang satu lebih unggul daripada tokoh lain.
(b) Terjadinya proses pembodohan yang terjadi dalam kaderisasi dan “propaganda” dari pemuka agama, sehingga umat tidak memperoleh informasi yang benar.
(c) Kekayaan digunakan untuk provokasi agama yang disertai kekerasan
(d) Persepsi yang berbeda-beda tentang ajaran agama
(e) Ketertutupan dan eksklusivisme pemeluk agama
(f) Solidaritas yang eksklusif
(g) Adanya persaingan yang tidak sehat dalam mencapai tujuan hidup
(h) Matinya dialog dan komunikasi
(i) Adanya kesenjangan sosial
(j) Suburnya materialisme, konsumtivisme bahkan darwinisme
(k) Beriman pada Tuhan yang sama, tapi perbedaan tradisi dan ajaran dibesar-besarkan
(l) Adanya persaingan dalam pembangunan rumah ibadah
(m) Adanya rasa alergi untuk membaca dan mempelajari kitab suci agama lain
Selain hambatan di atas, hambatan lain adalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Hambatan ini bersumber pada kemerosotan moral. Hal ini membuat tugas mewujudkan persaudaraan sejati menjadi berat, karena yang perlu diperbaiki adalah moralitas bangsa, terutama para pemimpinnya. Bagi rakyat Indonesia, pemimpin adalah panutan. Menjadi persoalan adalah mental pemimpin, seperti yang digambarkan Yesus dalam Matius 20: 25. Seharusnya kepemimpinan dihayati sebagai pelayanan (Mat 20: 26 – 28).
5. Kegiatan Membangun Persaudaraan Sejati Antarumat Beragama
Beberapa acara untuk meningkatkan pembangunan persaudaraan sejati:
a) Ajaran Gereja tentang Perdamaian
Damai berarti situasi selamat sejahtera dalam diri manusia. Perdamaian mengandaikan ada keadilan. Perdamaian akan tercipta bila nafsu-nafsu sombong dan serakah dikendalikan. Tekad yang kuat untuk menghormati martabat manusia merupakan syarat terciptanya perdamaian. Selain itu sikap persaudaraan mutlak dibutuhkan. Akar semuanya adalah cinta kasih. Maka, jika ada cinta kasih, maka perdamaian akan tumbuh subur.
Manusia memiliki empat dasar relasi, yaitu relasi dengan Tuhan, dengan sesama, dengan alam dan dengan diri sendiri. Keseimbangan di antara keempat relasi itu menentukan situasi hidup manusia.
b) Kegiatan yang Membangun Persaudaraan Sejati
Agama seharusnya mempersatukan umat dalam satu keluarga dan persaudaraan sejati, yaitu keluarga Allah. Namun, sering terjadi agama justru menyebabkan terjadinya perpecahan dan pertikaian. Karena agama orang saling membenci, bermusuhan dan berjarak satu dengan lain. Karena itu, tidak heran jika ada orang berkata, “Percuma pergi ke gereja, jika hidup saling membenci…”
Beberapa kegiatan mungkin dapat merintis terwujudnya persaudaraan sejati:
* Silaturahmi ke rumah teman dari agama lain saat hari raya
* Kirim SMS ucap selamat hari raya. Bisa juga via facebook atau email.
* Bakti sosial, penggalangan dana solidaritas untuk korban bencana
* Mengadakan dialog dan kerja sama antarumat beragama
* Menghormati orang lain yang sedang menjalani ibadah
6. Rencana dan Pelaksanaan kegiatan Membangun Persaudaraan Sejati
Untuk membangun persaudaraan sejati tidaklah cukup hanya sampai pada niat, pemikiran atau diskusi saja, tetapi harus sampai pada tindakan nyata. Di Indonesia sudah ada begitu banyak forum kebersamaan, seperti FKUB, BKSG, dll. Namun semuanya seakan tak bergaung, karena persaudaraan yang terbangun masih semu.
Modal dasar membangun persaudaraan sejati adalah kemauan untuk menghormati dan menghargai kemajemukan, serta menghormati hukum. Jika ada kesalahan pada pihak lain, biarkankah hukum yang menyelesaikannya, bukan dengan cara main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri justru akan menciptakan kekerasan, yang berujung pada konflik.
Umat Kristen sudah seharusnya menjadi pelopor dalam membangun persaudaraan sejati ini, karena ajaran Kristus menjadi dasar terbentuknya persaudaraan sejati. Dengan melaksanakan ajaran Yesus, umat Kristen telah membangun persaudaraan sejati. Ajaran-ajaran itu seperti:
(a) Cinta kasih (Mat 22: 37 – 39; Yoh 13: 34; Mat 5: 43 – 44, dll)
(b) Bersikap terbuka (Mrk 3: 31 – 35; Mat 15: 21 – 28; Luk 9: 49 – 50, dll)
(c) Memaafkan (Luk 17: 3 – 4; Mrk 11: 25; Luk 6: 37; Luk 23: 34, dll)
(d) Menghormati orang (Mat 25: 35 – 46; Luk 10: 25 – 37; Yoh 4: 1 – 42, dll)
(e) Damai (Mat 5: 9; Mrk 9: 50; dll)
(f) Anti kekerasan (Rm 12: 17, 21; Mat 5: 39, 44; Luk 6: 28; dll)
(g) Mengalah (Mat 12: 14 – 15; Mat 4: 12; Luk 8: 37, dll)
Ajaran Yesus memang sangat indah. Jika dilaksanakan maka terwujudlah persaudaraan sejati yang diharapkan. Semuanya berpulang pada kita. Paus Benediktus XVI memberi teladan ketika ia membuat kunjungan bersejarah ke Turki untuk menjangkau orang-orang islam dan Kristen Ortodoks di sana. Di sini Paus meneruskan tradisi yang sudah dirintis oleh pendahulunya, yaitu Paus Yohanes Paulus II.